Kalau yang dimaksud aliran salaf dalam
masalah akidah dan theologi adalah mengikuti manhaj salafus saleh (faham Imam
Malik, Ahmad bin Hanbal), maka sebenarnya aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(Ays’ariyah dan Maturidiyah) juga mengikuti manhaj salaf tersebut. Maka bisa
dikatakan dalam theologi : aliran Salafiyah-Asy’ariyah dan
Salafiyah-Maturidiyah.
Namun pada kenyataannya, karena sebagian
orang-orang penganut mazhab fiqih Hanbali masih mencurigai aliran Asy’ariyah
(bermazhab Syafi’i dalam fiqih) dan Maturidiyah (bermazhab Hanafi dalam fiqih)
mereka tetap menentang kedua aliran tersebut. Jadi yang dimaksud aliran salaf
dalam pembahasan sekarang ini adalah aliran salaf pengikut mazhab Hanbali dalam
fikih atau aliran Salafiyah-Hanbaliyah.
Istilah aliran Salaf, sering dinisbatkan
kepada para pengikut Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang juga bermazhab Hanbali
dalam fiqih. Disamping itu dimasa sekarang ini telah marak gerakan (harokah)
dakwah yang menamakan diri “SALAFI” sehingga seakan-akan aliran Salafi ini
aliran tersendiri yang berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal
kalau dalam theologi sebenarnya alirannya sama dengan aliran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyah / Maturudiyah). Selanjutnya yang dimaksud istilah aliran /
kaum salaf dalam pembahasan disini adalah kaum Salafi Hanbaliyah.
Aliran salaf ini mengalami perkembangan,
pergeseran dan metamorfosa dalam 9 periode waktu yang diwakili oleh
pemikiran tokoh-tokoh utamanya pada masing-masing periode, yaitu :
1. Periode
Generasi Sahabat Nabi.
Pada periode ini belum muncul yang
namanya “Aliran Salaf” karena secara umum tiga generasi awal ini memiliki
manhaj dan karakteristik yang masih “original” sesuai dengan masa kenabian,
terutama dalam bidang akidah dan teologi (ilmu kalam).
2. Periode Imam
Malik Bin Anas (91 H – 167 H)
Pada periode ini mulai muncul
orang-orang yang menanyakan tentang ayat Al-Qur’an yang tasybih, yaitu
perbuatan Allah yang mirip dengan perbuatan mahkluk.
Suatu hari ada orang yang menanyakan
kepada Imam Malik : “Bagaimana Allah ber-Istiwa’ (bersemayam) diatas Arsy ?”
Imam Malik menjawab : “maksud
istiwa’(bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita
tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana
caranya adalah bid’ah”.
Sikap Imam Malik yang mengimani
ayat-ayat mutasyabih tanpa mau menakwilkannya itulah ciri “Aliran Salaf” pada
saat itu.
3. Periode Imam
Ahmad bin Hanbal ( 164 H – 261 H)
Beliau salah satu darin empat imam
mazhab fiqih yang muktabar (terkenal dan diakui). Ciri fiqihnya adalah
mengutamakan hadits dan atsar daripada dengan qiyas. Imam Ahmad bin Hanbal
lebih suka ber hujjah dengan hadits dhaif dari pada berijtihad dengan qiyas
atau ihtihsan.
Pada masa itu Aliran Muktazilah sedang
mencapai puncak kejayaannya, karena didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun dari
Bani Abbas. Aliran Muktazilah yang didukung penguasa mengkampanyekan pemikiran
bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Semua ulama dan rakyat dipaksa mengikuti
pemikiran tersebut, semuanya tidak ada yang berani menentang kecuali Imam Ahmad
bin Hanbal, yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah kalamullah”
4. Periode Imam
Ibnu Hazm Al-Andalusi (384 H-456)
Beliau seorang ulama kelahiran Cordova
Andalusia, mula-mula ber mazhab Maliki, kemudian berpindah ber mazhab Syafi’ii
kemudian berpindah lagi ke mazhab zahiri, yaitu berpegang pada makna zahir ayat
(literalis).
Pada periode sebelumnya muncul teologi
Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H-330 H), yang pada mulanya seorang pengikut
Mu’tazilah yang kemudian menyatakan keluar dari Aliran Muktazilah.
Imam Abu Hasan Asy’ari (ber mazhab
Syafi’i dalam fikih) merumuskan teologi yang ber pihak kepada pemikiran ulama
salaf sebelumnya yaitu (Imam Malik dan Imam Hanbali) tapi dengan metode
pembahasan yang menggunakan metode scholastik, ilmu mantiq (logika) kaum
Mu’tazilah.
Imam Ibnu Hazm telah mempelajari
filsafat Yunani, filsafat Islam, teologi muktazilah, teologi Hanbaliyah dan
teologi Asy’ariyah. Imam Ibnu Hazm merumuskan teologi Hanbali-Literalis, yang
lebih memegangi makna literalis nash dan tidak membolehkan memberi sifat kepada
Allah.
Menurutnya Allah Maha Melihat, Maha
Mendengar, dsb itu adalah “asma” bukan “sifat” karena memberi sifat kepada
Allah dianggap menyerupakan Allah dengan makhluk. Ibnu Hazm mengakui mu’jizat
yang ada pada diri Nabi dan Rasul, namun beliau menolak adanya karomah pada
diri Wali atau orang-orang saleh.
Sikap Literalis-Hanbalis inilah yang
menjadi ciri “Aliran salaf” pada periode Imam Ibnu Hazm.
5. Periode Kaum
Hanbaliyin (469 H)
Teologi Asy’ariyah yang telah disebut
sebelumnya, walaupun berpihak kepada Aliran Salaf tetapi masih tetap dicurigai
dan tidak diterima oleh “ahlul hadits/ahlul atsar” dan orang-orang yang mengaku
mengikuti teologi Imam Ahmad bin Hanbal
Dengan alasan teologi Asy’ariyah
memberikan porsi yang besar kepada “akal” disamping itu krn Imam Asy’ari ber
mazhab Syafi’i. Tampaknya pada masa itu fanatisme mazhab telah menjalar ke
tubuh umat Islam.
Sejak masa pemerintahan Khalifah
Al-Mutawakkil (205-247 H), banyak menteri yang diangkat dari kalangan
Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi
oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
Keadaan seperti itu berlangsung terus
sampai pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H). Salah
seorang menterinya yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan
praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.
Setelah masa Khalifah Al-Mutawakkil,
pengaruh orang-orang Turki mulai besar pada pemerintahan dan militer. Banyak
orang Turki yang menduduki kursi menteri dan komandan tentara. Orang-orang
turki sangat setia kepada pemimpin kaum mereka. Demikian besarnya Kekuasaan
mereka, hingga mereka bisa dengan sesuka hati menunjuk dan mencopot Khalifah.
Jadi mereka mengakui Khalifah sebagai Amirul Mukminin sekedar dijadikan simbol
dan icon, kekuasaan secara militer yang sebenarnya ada ditangan para Sultan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Al Qaim
Billah yang menjadi Sultan adalah Alp Arselan (wafat 465 H) dari Turki Seljuk,
beliau mempunyai seorang wazir (perdana menteri) yang sangat cakap bernama
Nizamul Mulk (wafat 485 H).
Perdana Menteri Nizamul Mulk dengan
dukungan Sultan Alp Arselan mendirikan Universitas NIZAMIYAH, pusat ilmu dan
study Islam pada jaman itu. Yang menjadi pemimpin (rektor) Universitas
Nizamiyah adalah ulama besar Imam Al Juwainy, penganut Asy’ariyah dan bermazhab
Syafi’i. Nizamul Mulk dengan Universitas Nizamiyahnya menjadikan Theologi
Asy’ariyah sebagai theologi resmi dan menjadikan ajaran Asy’ariyah satu-satunya
theologi yang diajarkan. Kebijaksanaan Pedana Menteri Nizamul Mulk yang lain
adalah menghapuskan semua peraturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang
Asy’ariyah yang pernah diberlakukan oleh menteri ‘Amid al Mulk.
Kebijaksanaan itu tentu saja tidak
disukai oleh orang-orang Salafiah-Hanbaliyah. Pada tahun 469 H datang ke
Universitas Nizamiyah seorang ulama bernama Abu Nashr bin Abu Qasim Al Qusyairi
memberikan pengajian umum yang memberi penjelasan yang mendetail mengenai theologi
Asy’ariah.
Hal itu menjadi pemicu kemarahan
orang-orang Hanbaliyah, maka pada tahun 469 H terjadilah huru-hara dan keonaran
besar di kota Baghdad, yang berupa tindakan anarkis orang-orang Hanbaliyin
terhadap para pendukung teologi Asy’ariyah khususnya dan para penganut mazhab
Imam Syafi’i pada umumnya.
Kaum Hanbaliyah merusak kedai yang
dijumpai menjual khamr, mematahkan papan catur, menyerang rumah tokoh-tokoh
Syafi’iyah dan perbuatan anarkis lainnya, tercatat sampai menimbulkan korban
jiwa yang tentu saja dilawan oleh para pengikut Asy’ariyah-Syafi’iyah.
Peristiwa huru-hara Kaum Hanbaliyyin di Kota Baghdad ini sangat terkenal dalam
sejarah.
Tindakan keras dan agresif kaum
Salafiah-Hanbaliyah inilah yang menjadi ciri “Aliran Salaf” pada abad IV
Hijriah.
6. Periode Ibnu
Taimiyah (661 H – 728 H)
Seorang ulama besar abad 7 H, nama
lengkapnya Ahmad Taqiyuddin bin Syihabuddin Ibnu Taimiyah. Kelahiran Haran
Palestina, bermazhab Hanbali dalam fikih, menguasai hampir semua ilmu ke
Islaman dan banyak mengarang kitab dalam berbagai bidang ilmu.
Beliau mengkritik gejala taqlid dan
kemunduran ijtihad yang berjangkit pada umat, menyerukan agar umat kembali
meneladani manhaj dan perilaku para generasi salafus-saleh. Beliau juga
mengkritik pengaruh filasat Yunani, dalam pemikiran Islam, filsafat Persia
dalam konsep Imamah Syiah, penakwilan ayat-ayat mutasyabih berdasarkan
akal, dan filsafat India dalam Tasawuf (ittihad, hulul).
Kritik dan Fatwa Ibnu Taimiyah yang
keras, tajam dan vulgar tentunya membuat merah telinga ulama-ulama bahkan yang
sama-sama ber mazhab Hanbali dan pihak lain yang tidak sependapat dengan
fatwanya, termasuk para penguasa. Apalagi penguasa Bani Buwaihi dikenal
mendukung tarekat-tarekat Tasawuf. Jadi banyak pihak yang tersinggung dan
tidak senang dengan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah yang disampaikan secara terbuka
pada majelis-majelis pengajiannya.
. Dalam buku Rihlah
Ibnu Batutah (catatan perjalanan Ibnu Batutah), salah satu sumber
sejarah yang sangat terkenal dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa,
Inggris, Perancis dan Jerman, Ibnu Batutah telah melakukan perjalanan
pengembaraan selama 29 tahun kebanyak negeri-negeri mulai dari Mesir, Syria,
Palestina, Hijaz (Arab Saudi), Irak, Persia, Turki, Bukhara, Afghanistan,
India, Bangladesh, Cina, Sumatera, Indonesia dan terus ke Afrika.
Catatan perjalanannya
oleh sebagian besar ahli sejarah, dianggap cukup teliti dan dijadikan salah
satu “sumber sejarah”. Dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah diterangkan
bahwa dia singgah di Damaskus Syiria dan kebetulan mendengarkan Ibnu Taimiyah
memberikan pengajian di mimbar Masjid Umayyah, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan
Allah itu duduk diatas Arsy dan dudukNya itu serupa dengan duduknya Ibnu
Taimiyah diatas mimbar. Tuhan Allah itu turun tiap-tiap akhir malam kelangit
dunia dan turunnya itu sepeti turunnya Ibnu Taimiyah dari atas mimbar ke bawah.
Mendengar uraian itu, pendengar jama’ah
pengajian menjadi ribut, kacau balau, sehingga ada yang melempari Ibnu Taimiyah
dengan sandalnya. Akhirnya perkataan Ibnu Taimiyah sampai kepada penguasa. Ibnu
Batutah memberi komentar bahwa Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama besar tetapi
“fi aqlihi syaiun” (pikirannya guncang), demikian keterangan Ibnu Batutah.
Namun keterangan tersebut masih perlu
diteliti lagi, bisa jadi ada kesalah pahaman dalam menafsirkan ajaran Ibnu
Taimiyah atau bisa jadi peristiwa kekacauan Majelis pengajian beliau sudah
direkayasa lawan-lawan nya untuk memfitnahnya.
Ajaran dan fatwa-fatwanya yang dianggap
terlalu keras, tidak sopan dan melawan arus menyebabkan banyak ulama dan
penguasa Bani Buwaihi tersinggung dan tidak suka kepada beliau, disamping itu
ajaran theologinya dianggap cenderung kepada “anthropomorpist” akhirnya
menyebabkan beliau ditangkap oleh pihak penguasa dan keluar masuk penjara, bahkan
beliau meninggal dalam penjara. Pemakamannya diiringi oleh ratusan ribu orang
yang menaruh simpati kepada beliau.
Jadi seruan kembali kepada manhaj
salafus-saleh, kritik yang keras kepada taqlid dan kemandekan ijtihad,
penyimpangan akidah (ziarah dan berdoa di kuburan orang suci), superioritas
akal dalam pemahaman agama, konsep imamah kaum Syiah dan penyimpangan
ajaran ittihad, hulul dalam tasawuf itulah ciri khas ajaran Ibnu Taimiyah.
7. Periode
Muhammad bin Abdul Wahab (1115 H –1206 H)
Terkenal dengan gerakan Wahabi, yang
didukung oleh Pangeran Muhammad bin Saud seorang war lord (kepala suku,
komandan lapangan). Duet serasi ulama-penguasa ini mengantarkan keduanya
menduduki tahta kerajaan Arab Saudi.
Muhammad bin Abdul Wahab dikenal sebagai
ulama bermazhab Hanbali dan seorang penganut dan pendukung fanatik pemikiran
Ibnu Taimiyah. Setelah berkuasa, mazhab Wahabi ini dijadikan mazhab resmi
pemerintah kerajaan Arab Saudi sampai sekarang. Gerakan wahabi berciri khas
pada pemurnian akidah, tauhid dan menempuh kekerasan.
Dari semua
periode-periode yang telah diuraikan diatas sampai pada periode Muhammad
bin Abdul Wahab dan gerakan Wahabinya, kaum Salafiyin-Hanbaliyin kalau dapat
dikatakan “berbeda” dan hanya keras dalam masalah akidah dan theologi saja,
tidak sampai pada masalah fikih-amaliah, apalagi sampai pada masalah furu’iyah
(cabang) yang khilafiah.
8. Periode
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Beliau seorang ulama ahli hadits abad 20
M, sangat dihormati di Kerajaan Arab Saudi. Beliau menyerukan agar umat
mempelajari Al-Qur’an dan Hadits serta mencela kebiasaan taqlid, yaitu hanya
mengikuti saja pendapat seorang imam tanpa mengetahui dalil dan argumennya.
Sepeninggal beliau timbul fenomena baru,
yaitu ketika para pengikutnya mengikuti semua perkataan Syeikh Albani, sehingga
yang terjadi bukannya bebas mazhab melainkan menjadikan beliau sebagai mazhab
kelima disamping empat mazhab fikih yang sudah ada.
Fanatik pada ahli hadits inilah yang
menjadi ciri “Aliran Salaf” periode Syeikh Albani.
9. Periode
Salafi Kotemporer
Pada masa kotemporer sekarang ini
muncullah kelompok yang menamakan diri “salafi”. Kelompok inilah yang mewarisi
dan meneruskan “Aliran Salaf” seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tentunya
dengan karakteristik yang sedikit banyak juga mewarisi “Aliran salaf”
periode-periode sebelumnya dengan beberapa fenomena baru pula.
Salafi kotemporer tidak mempunyai
institusi formal, sebab mereka lebih bersifat aliran pemikiran umum (aliran
theologi sekaligus mazhab fiqih). Kadang terdiri atas beberapa kelompok yang
masing-masing mengaku sebagai salafiyin, diantaranya :
a
Jama’ah Anshar As Sunnah di Mesir dan Sudan.
b
Jam’iyyah Ihya’ At-Turats (menghidupkan Qur’an & Hadits) di Kuwait.
Tapi ada juga yang tidak berupa
organisasi, melainkan pengikut tokoh ulama salafiyin tertentu, seperti :
a. Salafiyun
Albaniyun, seperti telah disebut sebelumnya diatas (periode 8), yaitu para pengikut
Syeikh Albani.
b. Salafiyah
Politik, adalah salafiyin yang terpengaruh pemikiran Ihwanul Muslimin dalam
mengkritisi pemerintahan yang dianggap kurang berpihak pada ajaran Islam.
Kelompok ini menentang kebijaksanaan
Kerajaan Arab Saudi menempatkan tentara Amerika di Dahran, mengkritik dukungan
Kerajaan Arab Saudi kepada Sekutu pada perang Teluk II.
Tokoh-tokohnya diantaranya : Dr. Aidh Al
Qarni, Salman Audah, Safat Al Hawali, mereka pernah ditangkap dan dipenjara
oleh penguasa Kerajaan Arab Saudi.
Dr. Aidh Al Qarni setelah dibebaskan
dari penjara, lebih banyak menulis buku tentang “personality empowerment”.
Bukunya yang sedang Best Seller adalah “ La Tahzan”.
c. Salafiyun
Al-Jamiyun (Salafi beringas)
Tokohnya adalah Syeikh Rabi’
Al-Madkhali, kelompok ini tidak punya kreasi lain kecuali menyalahkan dan
menyerang orang lain, termasuk ulama ulama yang tidak sehaluan dengan mereka.
Tidak ada figur yang selamat dari
serangan kelompok ini, baik ulama klasik maupun modern. Termasuk Imam Ghazali,
Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Atsqolani hanya karena mereka penganut teologi
asy’ariah.
Ulama kotemporer pun tidak
segan-segan diserang, seperti : Hasan Al Bana, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, DR.
Yusuf Qaradhawi, Muhammad ‘Imarah, Fahmi Huwaidi, Ali Athj Thantawi, dll.
Kelompok Salafi Beringas juga menulis
buku yang menyerang dan membeberkan kejelekan-kejelekan mereka, melemparkan
tuduhan terhadap pemikiran dan tingkah-laku ulama-ulama yang diluar kalangan
mereka.
Disamping itu ada juga kelompok
salafiyin pengikut Syeikh Abdul Azis bin Baz dan Syeikh Muhammad bin Salih
Al-Utsaimin.
Sudah menjadi opini umum bahwa salafi
kotemporer yang sekarang ini sedikit banyak mewarisi ciri “Aliran
salaf” periode sebelumya, yaitu :
1.
Hanbalis-Literalis dalam fiqih.
2. Keras dalam
masalah akidah dan tauhid
3. Agresif –
tidak toleran.
Disamping itu, pada Salafi
kotemporer muncul fenomena ciri baru, yang belum muncul pada periode
sebelumnya, yaitu :
1. Memperluas (extend) konsep bid’ah sampai pada masalah furu’iyah-khilafiah.
2. Memperluas sikap keras-tidak toleran pada masalah furu’iyah-khilafiah.
3. Meng-generalisir seluruh tasawuf adalah sesat. (Bandingkan dengan Ibnu
Taimiyah yang hanya mengkritik konsep ittihad dan hulul dalam tasawuf).
Post a Comment Blogger Facebook