Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Al Jubai yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis pengajian gurunya Al-jubai. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya Al-Jubai ;
Asy’ari : Bagaimana menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan : mukmin, kafir dan anak kecil.
Al Jubai : Orang mukmin masuk surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Asy’ari : Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin ?
Al Jubai : Tidak mungkin, bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Asy’ari : Seandainya anak kecil itu berkata : memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al Jubai : Allah akan menjawab : Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu sebelum engkau dewasa.
Asy’ari : Seandainya orang kafir itu bertanya kepada Allah : Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku dan mematikan aku selagi masih kecil ?
(maka Al Jubai terdiam, tidak mampu menjawab)
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jum’at, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan berpidato :
“Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”
Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafus saleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.
Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Qur’an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode scholastis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.
Imam Abu Hasan Asy’ari pernah mengatakan :
“Sesungguhnya banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan Al-Qur’an menurut pendapat mereka sendiri, degan suatu ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul, begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu.”
Seorang Ulama dan peneliti asal Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan Asy’ari sebagai berikut :
1. Menempatkan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah).
2. Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
3. Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).
Imam Abu Hasan Asy’ari telah menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah Al Ibanah ‘An Ushul Ad Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin, akidah Ahlus Sunnah wal Jama’a, Maqalatul Islamiyyin dan Al-Luma’. .
Orang-orang yang mengaku pengikut Imam Ahmad bin Hanbal (kaum Hanbaliyin) yang juga kadang disebut kaum salaf tetap mencurigai beliau, karena beliau sebelumnya dikenal sebagai penganut Mu’tazilah disamping karena Imam Asy’ari menggunakan metode scholastik yang dianggap masih berbau Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i. Akibatnya orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya bahkan menghalalkan darah orang-orang yang mendukung ajarannya.
Penentangan orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asy’ariyah, bisa diruntut sebagai berikut :
a. Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil (205-247 H). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mu’tazilah, beliau kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah yang dulu mempropagandakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau sangat menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
c. Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i yang merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits tetapi dengan metode scholastik, kenyataannya menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa lebih “salaf” dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan istana Khalifah.
d. Salah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.
Disatu pihak orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain banyak ulama-ulama besar Syafiiyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari, diantaranya :
1. Abu Bakar bin Tayyib Al Baqillany (wafat 403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab karangannya yang terkenal adalah At Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At Tahmid ini perlu dipelajari sebelum seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi antara lain tentang atom (jauhar fard), sifat (‘ardl) dan cara pembuktian.
2. Abu Ma’aly bin Abdillah Al Juwainy (419-478 H), lahir di Nisabur kemudian berpindah ke Baghdad, Beliau mengikuti ajaran Imam Asy’ari dan Al Baqillany. Imam Al juwainy sempat menjadi sasaran amarah orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti ajaran Asy’ariyah yang dianggap terlalu memberi porsi kepada akal. Karena peristiwa itu, terpaksa beliau meninggalkan Baghdad dan bermukim di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran. Karena itu beliau digelari “Imam Haramain” (imam dua tanah suci). Beliau mengarang beberapa kitab, diantaranya kitab “Qowaidlu ‘Aqaidu Ahli Sunnah wal Jama’ah” yaitu Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari. Dari sinilah selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh mayoritas umat Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai sekarang.
3. Imam Syarastani (479-574 H) lahir di Khurasan, pengarang kitab Al Milal wa An Nihal kitab terbaik tentang firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4. Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), murid Imam Al-Juwainy. Menguasai hampir semua ilmu keislaman temasuk filsafat, digelari “Hujjatul Islam” pengarang kitab “IHYA ULUMIDDIN” yang sangat terkenal. Kitab Ihya’ ini berisi uraian yang panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan penyucian jiwa (tasawuf) tanpa memasuki area ittihad dan hulul. Kitab Ihya’ ini berhasil mengkompromikan dan meredam polemik perselisihan antara ahli tasawuf dan ahli syariat.
5. Imam Fahruddin Ar Razi (lahir 543 H) di Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang ilmu kalam, Fiqih, Tafsir dan lain-lain.
6. Imam As Sanusi (833-895 H), lahir di Tilimsan Aljazair. Mengarang kitab “Aqidah Ahli Tauhid” tentang pandangan tauhid Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan kitab “Ummul Barahin” berisi sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya, isinya praktis sangat populer di pesantren-pesantren di Indonesia.
B. Maturidiyah
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Manshur Al-Maturidy (wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand. Hidup hampir sejaman dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya berbeda. Imam Maturidy bermazhab Hanafy, maka tidak heran kebanyakan pengikutnya adalah orang-orang pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan Imam Asy’ari bermazhab Syafi’i.
Secara umum pemikiran dan ajarannya tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi persamaannya, hanya sekitar 10 masalah saja yang berbeda, antara lain : masalah takdir. Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya keduanya sama-sama menentang Mu’tazilah dan membela faham salafus saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari berpendapat bahwa ma’rifat kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu baik atau buruk menurut syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan buruk.
Al Maturidy menaruh porsi akal lebih banyak dalam hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah sesuatu itu baik dan buruk. Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata belum cukup untuk mengetahui hukum-hukum ta’kifiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Asy’ari yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai sekarang, seperti Maqalatul Islamiyyin, Al Ibanah dan Al Luma’, maka kita kesulitan mendapatkan kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi. Pandangan-pandangan tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.
Jadi Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang, melempar dsb).
Post a Comment Blogger Facebook