Proses penyebaran Islam di wilayah nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif para ulama awal terkemuka. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat Nusantara. Diakui secara umum bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Selanjutnya, dari Sumatera penyiaran agama Islam berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam. Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, Islam sampai ke tanah Jawa.
    Tokoh Islam di Sumatera
Proses Penyebaran Islam di Indonesia tidak terlepas dari peranan para tokoh Islam di Sumatera. Mereka melakukan berbagai upaya untuk menjadikan agama Islam sebagai anutan bangsa Indonesia
Di antara tokoh-tokoh yang berhasil mengembangkan Islam di Sumatera adalah :
1.    Hamzah Fansuri
                        Hamzah Fansuri dilahirkan di Fansur Aceh, beliau menuntut ilmu sampai ke India, Persia, Mekah dan Medinah untuk mempelajari ilmu-ilmu seperti Fiqih, Tauhid, Tasawuf, Sejarah dan Sastra Arab.
Setelah kembali ke Aceh, beliau mengajarkan ilmu-ilmunya di Pesantren (Dayah) di Oboh Simpang kanan Singkel.
                        Di samping sebagai ulama, ia juga sebagai sastrawan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hasil karyanya. Di antara hasil karyanya yang terkenal adalah :
1)   Risalah Tasawuf berbahasa Melayu
2)   Puisi-puisi Filosofis dan Mistis bercorak Islam
3)   Syair puisi empat baris dengan skema sajak a-a-a-a yang merupakan perpaduan antara ruba’i Persia dengan Pantun Melayu
4)   Asrarul Arifin (ilmu tafsir: penggunaan metode takwil)
2.    Syamsuddin al-Sumaterani
                        Syamsuddin al-Sumaterani merupakan seorang ulama terkemuka di Aceh dan Nusantara pada abad ke XVI M. Ia memiliki posisi penting di Kerajaan Aceh Darussalam sehingga ia termasuk salah seorang tokoh \yang diceritakan dalam buku Hikayat Aceh.
                        Dalam buku tersebut diceritakan bahwa Syeh Syamsuddin al-Sumaterani pernah diminta oleh Sultan Iskandar Muda untuk melakukan penyembelihan hewan qurban selepas shalat Idul Adha di Masjid Baiturrahman.
                        Symsuddin al-Sumaterani memiliki pengaruh yang sangat besar dan kuat di Aceh sehingga ia diberi jabatan-jabatan penting oleh Sultan Iskandar Muda, di antaranya :
1)   Syeh al-Islam ( gelar tertinggi untuk ulama, qadi, imam)
2)   Penasehat Raja
3)   Imam Kepala
4)   Anggota tim perunding dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam
Karya-karya Syamsuddin al-Sumaterani di antaranya adalah
1)   Jauhar al-Haqaid
2)   Risalah al-Baiyyin al-Mulahaza al-Muwahiddin wa al-Muhiddin fi Dzikr    Allah
3)   Mir’ah al-Mukminin
4)   Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
5)   Syah Syair Ikan Tongkol
6)   Nur al-Daqa’iq
7)   Thariq al-Saliqin
8)   Mir’ah al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur
9)   Kitab al-Harakat
10)    Fi Dzikr Dairah Qad Qausayn aw Adna
3.    Nuruddin al-Raniri
                 Nuruddin al-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render) Gujarat- India. Ia lebih dikenal sebagai seorang ulama Melayu. Perkenalannya dengan tokoh Indonesia dimulai ketika ia melanjutkan studi ke Haramain tahun 1030 H / 1620 M. Diperkirakan ia melakukan perjalanan pertama ke Melayu (Sumatera) dan menetap disana antara tahun 1030H/1621 M. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani al-Raniri diangkat sebagai Syekh al-Islam. Nuruddin al-Raniri melakukan berbagai pembaharuan terhadap pemikiran Islam di tanah Melayu,khususnya di Aceh. Termasuk memerangi doktrin  Wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani. Hal ini Dilakukannya selama lebih kurang 7 tahun.
                 Karya karya yang dihasilkan oleh Nuruddin al-Raniri kebanyakan berbicara soal Tasawuf, Fiqih, Qalam, Perbandingan Agama, Hadits dan Sejarah. Diantara hasil karya beliau adalah :
1)        Shiratul Mustaqiem.
2)        Durratul Aqaid Bisyarahal Aqaid.
3)        Tibyan fi Ma’rifatil Adyan.
4)        Hidayatul Habib Fi Taghrib wat Tarhib.(kumpulan terjemahan Hadist dalam bahasa Melayu).
                        Pada tahun 1054 H/1644 M Nuruddin al-Raniri kembali ketempat kelahirannya di Ranir Gujarat.
4.    Abdur Rauf Singkel.
            Abdur Rauf Singkel dilahirkan di Singkel Aceh tahun 1024 H/1615 M, nama aslinya Abdur Rauf al-Fansuri atau Abdur Rauf al-Singkili. Beliau adalah orang yang pertama kali mengembangkan  Tarekat Syattariyah di Indonesia. Pada tahun 1640 M Abdur Rauf Singkel berangkat ke tanah Arab dan menetap di Mekah untuk menambah pengetahuan agama. Ia berguru kepada Ahmad Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.
            Setelah mendapat pengetahuan dan ijazah dari Ibramim al-Qur’ani ia kembali ke Aceh tahun 1584 H/1661 M, ketika itu Aceh dikuasai oleh Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam.
            Di Aceh, Abdur Rauf Singkel giat dalam berdakwah dan mempunyai banyak murid, di antara muridnya adalah Burhanuddin Ulakan Pariaman Sumatera Barat. Abdur Rauf Singkellah yang menghapuskan ajaran Salik Buta. Ajaran Salik Buta yang dihapus adalah para Salik (Pengikut Tarekat) yang tidak mau bertobat dibunuh.
                        Abdur Rauf Singkel memiliki lebih kurang 21 karya tulis yang terdiri dari kitab tafsir, hadis, fikih dan tasawuf. Karyanya di bidang tafsir antara lain Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama di Indonesia yang berbahasa Melayu. Kitab tafsir yang lain karyanya adalah Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab. Sedangkan karyanya di bidang tasawuf adalah ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail Huruf), dan Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli).
            Terkait dengan pemikiran Abdul Rauf Singkel mengenai wujud Allah dalam beberapa tulisannya mengenai tasawuf terlihat bahwa Abdur Rauf Singkel tidak setuju dengan tindakan pengkafiran oleh Nuruddin al-Raniri terhadap pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumaterani yang berpaham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan pengkafiran ini tidak benar orang yang menuduh dapat disebut kafir.
            Pandangan Abdur Rauf Singkel terhadap Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Ia mengatakan bahwa betapapun dekatnya seorang hamba terhadap Allah swt; pencipta dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri.
            Abdur Rauf Singkel meninggal dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh, sehingga ia dikenal dengan nama Tengku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh tahun 1961 M, yaitu Universitas Syiah Kuala.
5.    Syekh Abdussamad al Palimbani
                        Syekh Abdussamad al Palimbani lahir di Pelembang tahun 1116 H/1704 M, ayahnya berasal dari Yaman. Beliau pertama kali mendapat pendidikan di Kedah (Semenanjung Malaka) dan Patani (Thailand) kemudian ia belajar ke Timur Tengah.
                        Syekh Abdussamad sangat peduli terhadap perkembangan keagamaan dan politik yang terjadi di Nusantara. Hal ini terlihat dari beberapa karya dan juga himbauannya terhadap umat Islam untuk melakukan jihad fi sabilillah menentang kekuatan penjajah Eropa. Karyanya tersebut adalah Nasihah al-Muslimin wa Tazkiyarah al-Mukminin fi Fadla’ilil Jihad fi Sabililah (Nasehat bagi kaum muslim dan peringatan bagi orang beriman tentang keutamaan jihad di jalan Allah). Sampai akhir hayatnya Syeh Abdussamad menetap di Haramain dan wafat tahun 1203 H/1789 M di usia 85 tahun.
6.    Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
                        Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir di Bukittinggi Sumatera Barat tahun 1276 H/1855 M. Ayahnya seorang jaksa di Padang sedangkan ibunya adalah puteri Tuanku nan Renceh seorang ulama terkenal dari kelompok Paderi. Beliau mendapat pendidikan awal di SR (Sekolah Rendah) dan sekolah guru di Bukittinggi. Pada tahun 1876 M beliau melanjutkan pendidikan ke Mekah sampai akhirnya memperoleh kedudukan yang tinggi dalam mengajarkan agama. Selain itu ia juga diangkat menjadi Imam Besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.
                        Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memberikan gagasan pembaharuan Islam dengan menekankan pentingnya syariat dan menolak tarekat. Terlihat dalam karyanya Izhar Zugalul Kadzibin, yang menolak praktek tarikat Naqsabandiyah.
                        Dari murid-murid Syekh Ahmad Khatib di Mekah tercatat empat orang ulama Melayu Indonesia yang kemudian hari menjadi penerus gagasan pembaharuan di Minangkabau. Mereka adalah :
1)   Syekh Thahir Jalaluddin al-Azhari (1869-1956 M)
2)   Syekh Muhammad Jamil Djambek (1860-1947 M)
3)   H. Karim Amrullah (1879-1945 M)
4)   H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M)
                        Syekh Ahmad Khatib meninggal di Mekah tahun 1334 H/ 1916 M dalam usia 60 tahun.

Post a Comment Blogger